KUPANG – Dalam rangka pemenuhan angka ideal Guru Besar, Universitas Nusa Cendana (UNDANA) kembali menggelar prosesi pengukuhan guru besar pada Rabu (22/01/25) di Gedung Grha Cendana. Tiga Guru Besar baru yang dikukuhkan tersebut adalah Prof. Dr. Intje Picauly, S.Pi., M.Si bidang ilmu Ekologi Pangan dan Gizi Masyarakat, Prof. Dr. Chaterina Agusta Paulus, S.Pi, M.Si, CRA, CRP, CRMP bidang ilmu Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut, dan Prof. Ir. Marthen Robinson Pellokila, MP., Ph.D bidang ilmu Ekonomi Pertanian dan Sumber Daya Alam.
Dalam orasi ilmiah yang disampaikan Prof. Intje yang berjudul “Ekologi Pangan dan Gizi sebagai Aset Peningkatan Kualitas Sumber Daya Manusia di Wilayah Lahan Kering Kepulauan” mengungkapkan manusia memerlukan zat gizi untuk menjalankan fungsi tubuh. Kekurangan dan kelebihan gizi dalam setiap daur kehidupan menyebabkan masalah gizi di masyarakat. Tubuh akan bergizi dan sehat apabila mendapatkan asupan gizi yang baik dan cukup dari pangan yang dikonsumsi. Kualitas dan kuantitas pangan yang dikonsumsi sangat dipengaruhi oleh faktor ekologi lingkungan.
Provinsi NTT sendiri mempunyai keunikan ekologi pangan dan gizi dengan beberapa penciri, yakni memiliki 3,26 juta hektar lahan kering berpotensi yang belum digarap, musim panas yang lebih lama sehingga berdampak pada keterbatasan air bersih dan rendahnya produksi hasil pertanian, memiliki hasil perikanan yang beragam dan dapat menyumbangkan asupan gizi protein hewani terbaik yang dibutuhkan tubuh, dan keragaman pola konsumsi masyarakat NTT masih sangat rendah karena lebih banyak didominasi oleh jenis pangan sumber karbohidrat (jagung dan umbi-umbian) dan sedikit jenis pangan sumber protein hewani (babi/sapi/ikan) serta sangat sedikit jenis pangan sumber vitamin mineral dari kelompok sayur (Labu Siam/Jepang) dan buah. Namun sayangnya, dengan kondisi geografis yang unik tersebut, NTT hingga saat ini masih menghadapi banyak permasalahan terkait kekurangan gizi seperti underweight, wasting, stunting, dan obesitas.
Penelitian pengelolaan ekologi pangan dan gizi yang dilakukan Prof. Intje dkk ini bertujuan untuk meningkatkan ketersediaan dan aksesibilitas pangan yang bergizi, serta memastikan bahwa masyarakat dapat mengonsumsi makanan yang seimbang demi mencapai status gizi yang optimal yang akan mendukung kesehatan masyarakat dan produktivitas ekonomi. Selain itu, pengelolaan ini juga berfokus pada keberlanjutan sumber daya alam dan lingkungan, sehingga dapat memenuhi kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kemampuan generasi mendatang.
“Ekologi dalam konteks orasi ini tidak saja tergantung pada aspek pembenihan atau pembibitan, budidaya, dan produksi pangan, melainkan lebih luas lagi terkait bagaimana caranya kita memberlakukan pangan tersebut untuk memperoleh kebutuhan dan kecukupan gizi. Hal ini berarti bahwa ekologi terbuka sebagai asset namun sekaligus ancaman bagi kita,” ungkapnya.
Lebih lanjut, Prof. Chate dalam penyampaian orasinya dengan judul “Turning the Tide: Membangun Nusa Tenggara Timur (NTT) melalui Pengelolaan Sumber Daya Pesisir, Kelautan, dan Perikanan yang Inklusif dan Berkelanjutan” mengemukakan bahwa secara filosofis, terdapat 3 (tiga) prinsip utama yang melandasi pengelolaan pesisir, kelautan dan perikanan yang inklusif dan berkelanjutan. Ketiga prinsip tersebut antara lain, interconnectedness di mana laut merupakan bagian vital dari sistem bumi dan secara mendalam menghubungkan berbagai aspek kehidupan. Pandangan ini sering dimplementasikan melalui konsep system dynamics yang juga menjadi bagian dalam riset-riset pesisir dan kelautan yang dilakukan Prof. Chate. “Menyadari pentingnya interconnectedness ini akan membantu kita dalam merancang kebijakan yang lebih terintegrasi dari pada manfaat tunggal dari satu atau dua sektor semata,” ujarnya.
Kedua adalah prinsip ethical stewardship atau etis perwalian atas sumber daya pesisir dan laut. Prinsip ini mengedepankan pentingnya masyaralat menjaga sumber daya pesisir dan laut. “Penelitian yang kami lakukan ini menunjukkan pentingnya stewardship dan inklusifitas tersebut dalam pengelolaan pesisir, kelautan, dan perikanan di wilayah Nusa Tenggara Timur (NTT), khususnya di kawasan konservasi Laut Sawu. Masyarakat yang memiliki etos stewardship dan memiliki keterlibatan (inklusif) akan mampu mengelola sumber daya pesisir dan laut secara lebih baik,” lanjutnya.
Prinsip terakhir adalah sustainability keberlanjutan. Prinsip ini memiliki akar kuat dalam semua aspek pengelolaan sumber daya alam, termasuk pesisir dan laut dimana mempertahankan kebutuhan generasi sekarang tanpa mengorbankan kebutuhan generasi yang akan datang menjadi kaidah yang harus dipenuhi oleh semua pihak. “Prinsip keberlanjutan dalam pengelolaan pesisir dan laut akan mencegah dan mengurangi terjadinya overfishing, degradasi habitat, pencemaran, dan berbagai masalah lingkungan di wilayah pesisir yang akan mengurangi daya dukung dan daya tampung sumber daya pesisir” tambahnya.
Penelitian ini menawarkan kebijakan strategis “4S”, yakni system (sistem) yang memerlukan penguatan pada system tata Kelola sumber daya pesisir dan laut dengan memetakan semua potensi aset secara sistematis. Kedua, structure (struktur) untuk memperkuat struktur kelembagaan, regulasi penunjang, dan struktur insentif bagi Masyarakat pesisir. Ketiga, stakeholder engagement (keterlibatan pemangku kebijakan) dalam pengelolaan pesisir dan laut melalui kerja sama ABCG (Academy, Business, Community, and Government). Terakhir, synchronization (sinkronisasi) program-program pesisir dan kelautan yang dikembangkan oleh setiap sektor (lembaga) agar lebih efektif dan efisien.
Di tempat terkahir, Prof. Marthen dalam orasinya yang berjudul “Penerapan Pendekatan Total Economic Value (TEV)/Nilai Ekonomi Total untuk Menilai Kerusakan Sumber Daya Alam dan Lingkungan dan Upaya Menjamin Sumber Daya dan Pertanian yang Berkelanjutan” menyingung kasus korupsi penambangan timah yang melibatkan PT. Timah Tbk di Provinsi Bangka Belitung dengan kerugian negara yang mencapai ratusan triliunan rupiah. Perhitungan nilai kerugian negara tersebut dihitung berdasarkan kerusakan lingkungan dalam kawasan hutan dan non-kawasan hutan, ditaksir oleh salah satu pakar lingkungan dari salah satu Perguruan Tinggi terkenal di Jawa Barat.
Secara teoritis dasar penaksiran kerugian negara sebagai akibat dari rusaknya sumber daya alam dan lingkungan menggunakan Total Economic Value (TEV) atau Nilai Ekonomi Total. Pendekatan Nilai Total Ekonomi (TEV) merupakan pendekatan yang komprehensif untuk menilai barang dan jasa yang disediakan oleh sumberdaya alam dan lingkungan. Perhitungan nilai dari sumber daya alam dan lingkungan mengacu pada suatu konsep dasar yakni Nilai Total Ekonomi (TEV) yang sering kali diabaikan karena tidak dipahami dengan baik. Jika pun dipahami dengan baik, metodologi yang baku berkenaan dengan hal-hal tersebut tidak pernah ditetapkan sebagai landasan yang formal sebagai acuan untuk dipergunakan dalam kasus-kasus yang lebih umum. “Hal ini terjadi karena secara alamiah keberadaan dari sumber daya dan lingkungan itu sendiri merupakan suatu sistem yang sangat kompleks dan rumit”, tuturnya.
TEV terdiri dari beberapa komponen yang menggambarkan berbagai jenis nilai yang diberikan oleh sumber daya atau layanan tersebut, antara lain Use Value (Nilai yang Digunakan/UV), dan Non-Use Value (Nilai yang Tidak Digunakan/NUV). UV merupakan nilai yang diperoleh dari penggunaan langsung atau tidak langsung suatu sumber daya atau layanan, baik untuk konsumsi atau kegiatan ekonomi lainnya, sedangkan NUV adalah nilai yang tidak bergantung pada penggunaan langsung sumber daya atau layanan, tetapi berasal dari alasan lain seperti kepentingan ekologi, budaya, atau estetika.
UV terdiri dari Direct Use Value (Nilai Yang Digunakan Secara Langsung/DUV), nilai yang dihasilkan dari pemanfaatan langsung sumber daya berupa produk atau jasa, seperti hutan menghasilkan kayu, madu atau hasil hutan lainnya, Indirect Use Value (Nilai Yang Digunakan Secara Tidak Langsung/IUV, nilai yang berasal dari manfaat yang tidak langsung, seperti fungsi ekosistem yang mendukung produksi atau mengurangi risiko bencana (misalnya, hutan sebagai wadah untuk penyerapan air hujan, perlindungan lahan dari erosi atau cadangan karbon dan lain-lain), dan Option Value (Nilai Pilihan/OV), nilai dari sumber daya alam dan lingkungan yang berkaitan dengan kemungkinan untuk menggunakannya di masa depan (Kandungan Uranium di Pulau Timor).
Sedangkan NUV terdiri dari Existence Value (Nilai Keberadaan/EV), nilai yang diberikan oleh individu hanya karena mengetahui bahwa suatu sumber daya atau spesies tetap ada, meskipun mereka tidak menggunakannya secara langsung dan Bequest Value (Nilai Yang Diwariskan/BV), nilai yang diperoleh dari kepentingan untuk mewariskan sumber daya atau layanan kepada generasi mendatang.
Secara matematis, TEV dapat disusun sebagai:
TEV : UV + NUV
UV : DUV + IDUV + OV
NUV : EV + BV
Penelitian yang dilakukan Prof. Marthen dkk ini menunjukkan beberapa manfaat penilaian TEV, di antaranya memberikan gambaran komprehensif tentang kerugian jangka panjang akibat degradasi, membantu pengambilan keputusan, meningkatkan kesadaran tentang nilai lingkungan, serta mendorong praktik pertanian berkelanjutan. “Studi kasus mengenai lahan pertanian yang terdegradasi dibandingkan dengan yang dikelola secara berkelanjutan menunjukkan bahwa pendekatan berkelanjutan lebih menguntungkan dalam jangka panjang, baik dari segi ekonomi maupun keberlanjutan lingkungan. Penilaian TEV membantu pengambilan keputusan yang lebih tepat dan mendukung upaya konservasi dan restorasi sumber daya alam untuk masa depan yang lebih baik,” paparnya.
Rektor UNDANA, Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc, dalam pidatonya menyampaikan pentingnya peran Guru Besar di tingkat perguruan tinggi. “Guru besar adalah academic leaders bagi suatu universitas. Kebesaran suatu universitas tidak ditentukan semata-mata dari infrasturkturnya, tetapi kualitas penelitian dan kontribusi pemikiran oleh para Guru Besarnya. Ini menjadi sangat penting untuk kita para Guru Besar implementasikan,” singkapnya.
“Profesor sebagai intellectual leaders dituntut untuk memberikan keteladanan bagi seluruh civitas academika, menjadi mentor yang membimbing mahasiswa dan doktor-doktor muda. Mereka harus mampu berperan aktif dalam pengembangan riset dan inovasi yang dapat memberikan solusi terhadap permasalahan yang dihadapi masyarakat, termasuk meningkatkan kualitas pendidikan di UNDANA sehingga dapat membawa nama UNDANA di dunia internasional dan memenuhi visinya sebagai universitas berwawasan global,” tambah Prof. Maxs.
Perwakilan Pj. Gubernur NTT menyampaikan jabatan guru besar bukan sekedar gelar akademik tertinggi, tetapi sebuah amalan besar yang mengemban tanggung jawab moral dan sosial. “Dengan dikukuhkannya para guru besar ini, menjadi sebuah sejarah baru dan bagian penting dalam perjalanan Universitas Nusa Cendana serta menjadi kebanggaan provinsi Nusa Tenggara Timur. Saya berharap, ini terus memacu dan memicu semua dosen di lembaga ini untuk terdorong dan berkompetisi menjadi guru besar seperti yang telah dilakukan oleh ketiga guru besar yang dikukuhkan hari ini,” tutupnya.
Pengukuhan Guru Besar menjadi motivasi dan pengingat untuk terus berkarya dan mengontribusikan ilmu dan mengabdikan diri demi pengentasan masalah yang ada di masyarakat.



