(0380) 881580

info@undana.ac.id

Jl. Adisucipto, Penfui

Kupang, NTT 85001

07:30 - 16:00

Senin s.d Jumat

(0380) 881580

info@undana.ac.id

Jl. Adisucipto, Penfui

Kupang, NTT 85001

07:30 - 16:00

Senin s.d Jumat

Mahasiswa Sosiologi Undana Gali Makna Tenun Kolana sebagai Penjaga Identitas Budaya

KUPANG – Dua belas mahasiswa Program Studi Sosiologi Universitas Nusa Cendana (Undana) berhasil mengungkap kompleksitas di balik tradisi menenun. Mereka menemukan bahwa tenunan Kolana bukan saja sekedar kain bermotif yang menyimpan cerita, namun memiliki filosofi mendalam dan memiliki kekhasan yang membedakannya dari tenunan daerah lain Tenunan Kolana, sebuah warisan leluhur yang kini terancam oleh gerusan modernisasi, bukan sekadar produk budaya, melainkan cerminan dinamika kehidupan masyarakat Alor Timur, khususnya peran sentral perempuan dalam melestarikan identitas dan ekonomi keluarga, seperti makna filosofis Gibitir Keti and Gibitir Merek. Karya seni ini bukan hanya ekspresi visual, tetapi juga media untuk menyuarakan identitas, sejarah, dan semangat kesetaraan gender yang telah lama terjalin dalam kehidupan masyarakat Kolana Utara.

Menelusuri Makna dan Identitas dalam Setiap Motif
Tenunan Kolana kaya akan simbol dan makna yang mendalam, terutama melalui motif-motifnya yang unik. Dua di antaranya, motif Sasao and motif Titituk, memiliki arti khusus yang menggambarkan peran perempuan Alor Timur. Jaemy Ezra Banik, perwakilan dari kedua belas mahasiswa yang melakukan penelitian menjelaskan tentang makna dibalik kedua motif tersebut. “Jadi, kedua motif ini secara gamblang mengisahkan tentang perempuan Kolana, yang tidak hanya berkontribusi di ranah domestik, tetapi juga aktif dalam ekonomi dan pelestarian budaya”, ujarnya.

Motif Sasao, yang melambangkan “moko” (alat tukar dalam tradisi membelis atau meminang), merepresentasikan perempuan Kolana sebagai sosok yang bermartabat dan patut dihargai. Ini menunjukkan penghargaan tinggi terhadap peran perempuan dalam adat perkawinan. Sementara itu, motif Titituk, yang berarti “lesung”, menggambarkan perempuan Kolana sebagai individu yang kuat dan pekerja keras. Lesung, yang digunakan untuk menumbuk padi demi memenuhi kebutuhan keluarga, menjadi simbol dedikasi perempuan dalam menopang kehidupan domestik.

“menurut saya pribadi, tenunan ini menjadi penanda bahwa perempuan memiliki peran yang setara dengan laki-laki, dan makna ini terbentuk dari interaksi sosial dalam masyarakat Kolana Utara”, tambahnya.

Tantangan Globalisasi dan Upaya Pelestarian Budaya Lokal
Penelitian ini bermula dari isu-isu sosial budaya tentang pelestarian tradisi dan budaya lokal NTT yang menghadapi tantangan besar di tengah arus globalisasi. Interaksi antarbudaya lokal dengan pengaruh budaya luar semakin ramai di era modern, menimbulkan ancaman serius bagi ciri khas dan nilai sosial budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang. Fenomena ini menjadi motivasi utama bagi mahasiswa Sosiologi Undana untuk melakukan kajian mendalam terhadap tenun Kolana.

Di bawah bimbingan Ibu Lenny S. Bire Manoe, S.Sos, M.Si, selaku dosen pembimbing mata kuliah “Sosiologi Masyarakat NTT”, penelitian ini dirancang dengan metode pembelajaran yang kritis dan analitis. “kami semua tidak hanya ditugaskan untuk mengumpulkan informasi akurat melalui observasi dan wawancara lapangan, tetapi dengan turun langsung dalam riset ini, kami juga berperan sebagai penjaga dan pelestari budaya lokal”, ujar ezra.

Tujuan spesifik penelitian ini adalah menganalisis makna budaya dan sosial tenunan Kolana, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi kurangnya minat generasi muda terhadap praktik menenun di tengah perubahan sosial akibat globalisasi dan modernisasi.

Data awal dari penelitian ini menunjukkan adanya ketimpangan yang mengkhawatirkan. Generasi muda cenderung memandang menenun sebagai pekerjaan tradisional yang tidak relevan dengan gaya hidup modern, melelahkan, memakan waktu lama, dan kurang menjanjikan keuntungan ekonomi yang cepat. Di sisi lain, generasi yang lebih tua masih menjunjung tinggi nilai budaya dan identitas yang melekat pada tradisi menenun. Kekhawatiran akan terputusnya proses pewarisan budaya secara turun-temurun semakin nyata. Kurangnya dukungan ekonomi dan minimnya inovasi dalam memperkenalkan tenun ke dunia digital atau pasar kreatif turut memperlebar jurang antara generasi muda dan warisan budaya mereka.

Membangun Jembatan Antargenerasi dan Masa Depan Tenun Kolana
Pasca-penelitian, hasil temuan akan disosialisasikan melalui berbagai media, termasuk akun Instagram jurusan, sebagai upaya untuk memperbarui cara pandang masyarakat terhadap tradisi budaya daerah. Namun, langkah ini tidak berhenti di situ. Diperlukan diskusi khusus untuk membahas tantangan dan strategi dalam menanggapi isu sosial budaya lokal NTT, serta seminar atau penelitian lanjutan yang berfokus pada kritik terhadap glokalisasi tenunan adat dan dampak substraksi nilai serta pemaknaannya di era modern.

Penelitian lapangan semacam ini memberikan kontribusi signifikan bagi pengembangan kurikulum Program Studi Sosiologi Undana. Melalui keterlibatan langsung dalam studi lapangan, mahasiswa memperoleh data empiris yang kontekstual dan relevan dengan realitas sosial di NTT. Temuan-temuan ini akan memperkaya materi ajar, khususnya dalam mata kuliah Sosiologi Masyarakat NTT dan mata kuliah lain yang berkaitan dengan isu sosial budaya, menjadikan kurikulum lebih berbasis lokal dan aktual.

Pengalaman lapangan ini juga menumbuhkan kepekaan sosial, keterampilan analisis kualitatif, serta rasa tanggung jawab mahasiswa sebagai calon sosiolog yang memahami dan terlibat dalam persoalan masyarakat lokal. Dengan demikian, diharapkan tenun Kolana tidak hanya menjadi artefak budaya yang terpajang, melainkan terus hidup dan berkembang, menjadi jembatan yang menghubungkan generasi muda dengan akar budaya mereka, serta simbol kekuatan dan identitas perempuan Alor Timur yang tak lekang oleh waktu. (Ing)

Comments are closed.
Archives