JAKARTA – Sebuah kabar mengejutkan mengguncang dunia pendidikan tinggi Indonesia. Ketua Seleksi Nasional Penerimaan Mahasiswa Baru (SNPMB) 2025, Prof. Eduart Wolok, dalam konferensi pers yang disiarkan langsung melalui kanal Youtube SNPMB ID pada Jumat (2/5), mengungkapkan indikasi kuat adanya praktik kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif selama pelaksanaan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) Seleksi Nasional Berdasarkan Tes (SNBT) tahun ini.
Pengungkapan ini menjadi tamparan keras bagi integritas proses seleksi calon mahasiswa baru di Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Dari total 860.976 peserta yang berjuang untuk meraih kursi impian, hanya sekitar 30 persen yang akan berhasil lolos. Persaingan yang demikian ketat disinyalir menjadi pemicu bagi sebagian oknum untuk mencari jalan pintas yang melanggar aturan, mulai dari penggunaan joki, pemalsuan dokumen, hingga manipulasi teknis yang canggih.
Prof. Eduart Wolok dengan tegas menyatakan bahwa dugaan praktik kecurangan ini melibatkan jaringan joki profesional dan bahkan menyeret beberapa lembaga bimbingan belajar (bimbel) yang beroperasi di luar koridor etika. Keberadaan praktik kotor ini tidak hanya merusak sendi-sendi keadilan dalam sistem ujian, tetapi juga menggerogoti kepercayaan publik terhadap kredibilitas seleksi masuk PTN yang selama ini dijunjung tinggi.
“Kami menemukan indikasi kecurangan yang mencengangkan di 13 pusat UTBK yang berbeda, melibatkan kurang lebih 50 peserta dan 10 joki yang teridentifikasi. Ini bukan lagi sekadar kecurangan biasa, melainkan telah memasuki kategori kejahatan terorganisir yang memerlukan penanganan serius,” ungkap Prof. Eduart dengan nada prihatin dalam konferensi pers tersebut.
Lebih lanjut, Prof. Eduart memaparkan secara detail berbagai modus kecurangan yang berhasil diidentifikasi oleh pihaknya. Modus-modus tersebut menunjukkan tingkat kecanggihan dan perencanaan yang matang, antara lain: perekaman soal ujian menggunakan kamera tersembunyi dan aplikasi perekam layar pada perangkat peserta; pengendalian jarak jauh komputer peserta dari luar ruangan dengan memanfaatkan remote access; praktik pergantian identitas peserta ujian dengan menggunakan joki melalui pemalsuan Kartu Tanda Penduduk (KTP), dokumen-dokumen penting lainnya, serta akun SNPMB; hingga pemberian jawaban secara real-time kepada peserta ujian melalui penggunaan alat komunikasi tersembunyi yang sulit dideteksi.
“Sungguh ironis, beberapa peserta bahkan menggunakan mikrofon berukuran sangat kecil yang disembunyikan di balik jilbab, transmitter yang disisipkan di rambut, dan kamera tersembunyi yang dipasang di kacamata. Beberapa kasus bahkan berhasil ditangkap tangan di lokasi ujian, seperti yang terjadi di Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Diponegoro (Undip), Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung, dan Universitas Jember,” bebernya dengan mimik kecewa.
Menyikapi temuan yang mengkhawatirkan ini, Prof. Eduart menjelaskan langkah-langkah pencegahan dan sistem pengamanan berlapis yang telah dirancang dan diimplementasikan oleh panitia SNPMB. Pihaknya telah menyiapkan 23 set soal yang berbeda ditambah dengan soal cadangan, yang digunakan secara bergilir pada setiap sesi ujian. Soal-soal tersebut tersimpan aman dalam sistem yang tidak terhubung dengan internet, hanya dapat diakses oleh tiga orang dengan kredensial yang berbeda, dan didistribusikan secara langsung ke komputer peserta menjelang ujian dimulai.
“Kami ingin memastikan bahwa tidak ada celah bagi kebocoran soal sebelum ujian dilaksanakan. Kalaupun ada soal yang beredar setelah ujian selesai, hal tersebut tidak akan memiliki nilai guna, karena setiap sesi ujian menggunakan set soal yang berbeda dan sistem penilaian kami telah dirancang untuk memperhitungkan tingkat kesulitan soal serta melakukan penyetaraan antar sesi,” tegasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Prof. Eduart juga menekankan betapa krusialnya peran serta aktif dari orang tua dan peserta ujian dalam menjaga integritas seleksi nasional ini. Ia mengingatkan bahwa upaya panitia tidak akan berhasil maksimal tanpa adanya kesadaran dan komitmen dari seluruh pihak terkait.
“Kami tidak dapat bekerja sendiri dalam memberantas praktik kecurangan ini. Selama masih ada permintaan terhadap jasa joki dan jalan pintas lainnya, maka praktik-praktik tidak terpuji ini akan terus tumbuh subur. Sangat disayangkan, kami menemukan indikasi bahwa banyak orang tua justru terlibat aktif dalam mencari cara-cara instan agar anak mereka dapat lulus UTBK,” ungkapnya dengan nada penyesalan.
Lebih lanjut, Prof. Eduart menyoroti keterlibatan oknum lembaga bimbingan belajar yang terindikasi kuat turut andil dalam praktik kecurangan ini, bahkan berani menjanjikan kelulusan 100 persen kepada calon peserta. Ia mencontohkan salah satu bimbel di Yogyakarta yang diketahui masih membuka program intensif hingga H-1 pelaksanaan ujian, yang diduga kuat bertujuan untuk mendapatkan akses ilegal terhadap soal-soal dari sesi awal UTBK. (Ref)

