ROTE NDAO — Sejumlah mahasiswa dari Program Studi Pendidikan Sejarah, Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan, Universitas Nusa Cendana, mendapatkan pengalaman berharga dalam kunjungan mereka ke Masjid An-Nur di Metina, Kecamatan Lobalain, Kabupaten Rote Ndao. Kunjungan ini bukan hanya untuk melihat bangunan bersejarah, tetapi juga mempelajari jejak penyebaran agama Islam di pulau Rote, yang merupakan wilayah paling selatan Indonesia.
Masjid An-Nur menyimpan nilai sejarah yang tinggi sebagai bukti awal penyebaran Islam di Kabupaten Rote Ndao pada pertengahan abad ke-19. Penyebaran agama Islam di wilayah ini dimulai oleh pedagang-pedagang dari Makassar yang singgah di Pulau Alor sebelum melanjutkan perjalanan ke Rote pada tahun 1850-an.
Mohammad Ali, penjaga masjid, memberikan penjelasan kepada para mahasiswa mengenai sejarah pendirian masjid ini. “Masjid ini pertama kali didirikan oleh Ismail Bin Abdullah, seorang pedagang dan tukang yang datang dari Makassar. Beliau membawa sketsa bangunan masjid dari tanah asalnya untuk dijadikan panduan dalam pembangunan masjid ini,” tutur Mohammad Ali. Menurutnya, Ismail menggunakan bahan-bahan sederhana seperti telur, kapur, pasir laut, dan gula air sebagai bahan perekat dalam proses pembangunan. “Ini menunjukkan keuletan dan kecerdikan mereka dalam memanfaatkan bahan-bahan alami yang ada di sekitar,” sambung pria berusia 61 tahun ini.
Pada awalnya, masjid didirikan di dekat lokasi Hotel Grace pada tahun 1850, dengan ukuran kecil yang hanya mampu menampung sekitar sepuluh orang. Namun, seiring perkembangan zaman dan pertumbuhan komunitas Muslim di Rote, masjid ini dipindahkan ke lokasi baru pada tahun 1929 dan mengalami renovasi sebanyak tiga kali hingga menjadi bangunan yang lebih besar dan bisa menampung lebih banyak jamaah.
Selain sebagai tempat ibadah, Masjid An-Nur juga menyimpan beberapa peninggalan sejarah dari Ismail Bin Abdullah, antara lain bedug, bak batu, sumur sedalam lima meter, serta menara yang digunakan sebagai pengeras suara untuk panggilan shalat. “Ini adalah warisan yang terus dirawat dan menjadi bagian dari sejarah umat Muslim di Rote,” ungkap Mohammad.
Menurut Mohammad Ali, penyebaran Islam di Pulau Rote dilakukan melalui dua jalur utama: perdagangan dan pelayaran. Jalur perdagangan dipusatkan di Ba’a, sementara jalur pelayaran dipusatkan di pantai Oeseli, tempat komunitas Bajo bermukim. “Dua jalur ini berperan besar dalam menyebarkan ajaran Islam di Rote dan membentuk komunitas Muslim yang solid,” jelasnya.
Kunjungan ini menjadi pengalaman berharga bagi para mahasiswa Universitas Nusa Cendana, yang melihat langsung jejak sejarah penyebaran Islam di daerah yang terletak jauh dari pusat Nusantara. Mereka berharap, kunjungan semacam ini dapat terus dikembangkan untuk memberikan pemahaman yang lebih dalam mengenai sejarah lokal bagi generasi muda.
Rombongan Mahasiswa Kunjungi Gereja Bersejarah Menggelama di Ba’a, Rote Ndao
Selain masjid, rombongan mahasiswa kemudian berkesempatan mengunjungi Gereja GMIT Menggelama, salah satu gereja bersejarah yang terletak di Ba’a, Kabupaten Rote Ndao. Dalam kunjungan tersebut, mereka mendapat penjelasan dari Pendeta Petrus Bessie dan Pendeta Hana tentang sejarah panjang dan nilai penting Gereja Menggelama yang kini telah menjadi cagar budaya di Nusa Tenggara Timur.
Pendeta Petrus Bessie menjelaskan bahwa nama “Gereja Menggelama” diambil dari nama Dusun Menggelama, yang berlokasi sekitar 1 kilometer dari Pelabuhan Laut Ba’a, ibu kota Kabupaten Rote Ndao. Menurut catatan sejarah, dusun ini mulai berkembang sebagai pusat aktivitas masyarakat pada masa kolonial, saat seorang warga Belanda bernama Jackstein memindahkan sekolah dan beberapa rumah penduduk ke dusun tersebut. Keputusan ini menjadi awal mula pembentukan komunitas dan kegiatan keagamaan di kawasan itu.
Setelah Jackstein, tugas pelayanan diambil alih oleh seorang pendeta bernama P.Y. Penning yang berkedudukan di Ba’a. Namun, karena kondisi kesehatan, Penning harus kembali ke Belanda, dan posisinya digantikan oleh pendeta Van Malsen. Van Malsen inilah yang memiliki visi untuk membangun sebuah gereja permanen di Menggelama, yang akhirnya dikenal sebagai Gereja GMIT Menggelama.
Proses pembangunan Gereja Menggelama tidaklah singkat, melainkan membutuhkan waktu sekitar 13 tahun, dimulai pada tahun 1880 dan baru selesai pada 1893. Pembangunan ini merupakan sebuah pencapaian besar, terutama karena pada masa itu sebagian besar bangunan gereja di wilayah Rote masih terbuat dari kayu, menyerupai rumah-rumah penduduk lokal.
Meski pembangunan telah dimulai pada 1880, peletakan batu pertama sebagai dasar gedung gereja permanen yang terbuat dari batu (tembok) baru dilakukan pada tahun 1882. Hal ini menjadikan Gereja Menggelama sebagai gereja pertama di Rote yang dibangun dari material batu. Setelah melewati berbagai tahap konstruksi yang memakan waktu selama 11 tahun, gereja ini akhirnya diresmikan pada tanggal 31 Oktober 1893.
Seiring berjalannya waktu, Gereja Menggelama mengalami pemugaran pertamanya pada tahun 1896, hanya tiga tahun setelah peresmian. Pemugaran ini dilakukan untuk menjaga keutuhan dan kekokohan struktur gereja sebagai pusat ibadah yang penting bagi masyarakat setempat.
Kini, Gereja Menggelama telah ditetapkan sebagai cagar budaya yang dilindungi oleh pemerintah dan mendapat perhatian dari Gereja Masehi Injili di Timor (GMIT). Status ini menunjukkan bahwa Gereja Menggelama tidak hanya bernilai sebagai tempat ibadah, tetapi juga sebagai warisan sejarah dan budaya yang memperkaya khazanah masyarakat Rote Ndao dan Nusa Tenggara Timur.
Gereja GMIT Menggelama telah menarik perhatian berbagai pihak, termasuk para mahasiswa yang mengunjungi lokasi ini sebagai bagian dari studi sejarah dan budaya di Rote. Pendeta Petrus Bessie menyampaikan harapannya agar gereja ini dapat terus menjadi saksi sejarah bagi generasi mendatang dan menjadi objek wisata religi yang mampu memperkenalkan sejarah Rote kepada para pengunjung.
Dengan statusnya sebagai cagar budaya, Gereja Menggelama tidak hanya menjadi tempat bagi umat untuk beribadah, tetapi juga menjadi bukti nyata perjalanan panjang penyebaran agama Kristen di wilayah Rote. Keberadaannya mengingatkan masyarakat akan pengaruh misionaris Eropa yang membawa ajaran Kristen ke pulau ini, serta perjuangan masyarakat setempat dalam mempertahankan warisan budaya dan keagamaan mereka.
Gereja Menggelama menjadi simbol keberlanjutan iman dan identitas budaya yang melekat dalam kehidupan masyarakat Rote hingga saat ini.***
