KUPANG – Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Universitas Nusa Cendana (Undana) menggelar seminar nasional dengan tema “Paraksis HAM dan Gender dalam Pembangunan Pariwisata di Era Otonomi Daerah Menjelang Kontestasi Politik 2024”. Seminar nasional itu dibuka secara resmi oleh Rektor Undana, Prof. Dr. drh. Maxs U. E. Sanam, M.Sc di Hotel Harper Kupang, 18 Oktober 2023.
Seminar itu diprakarsai oleh tiga pusat di LPPM, yakni Pusat Studi HAM, Anak, Gender dan Kependudukan, Pusat Studi Kebikakan dan Otonomi Daerah, dan Pusat Studi Kebudayaan dan Pariwisata.
Seminar nasional tersebut dilaksanakan untuk membedah pikiran dan pengalaman dari narasumber yang berlatar belakang akademisi maupun praktisi untuk mengajak berbagai stakeholders guna mendukung pembangunan pariwisata di era otonomi daerah menjelang kontestasi politik 2024.
Guru Besar Ilmu Administrasi Brawijaya, Malang, Jawa Timur, Prof. Bambang Supriyono mengatakan, konsekuensi dari sistem pemerintahan yang terdiri dari institusi legislative, eksekutif dan legislative, perlu padian antara teknokratis dan partisipatif dalam penyelenggaraan pemerintah.
Menurutnya, kinerja pemerintah yang tinggi diukur dari efektivitas pencapaian tujuan, termasuk pembiayaan dan dampak nyata peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Prof. Bambang katakan, peningkatan kemampuan sumber daya dalam daimplementasi kebijakan otonomi daerah, perlu strategi dan analisis secara tajam berbasis informasi, untuk membangun pariwisata di NTT yang lebih baik.
Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Theofransus Litaay, SH., LLM., Ph.D mengemukakan, dalam pembangunan nasional, utamanya pembangunan pariwisata, isu gender dan HAM menjadi penting, contohnya adalah dengan keterlibatan perempuan dalam penyusunan kebijakan publik.

Ia menjelaskan, jika belajar dari persentase perempuan di legislatif periode 2019-2024, setidaknya ada satu kebijakan yang berpengaruh terhadap keamanan perempuan dan anak, yaitu pengesahan RUU TPKS pada 9 Mei 2022 lalu. Hal itu, salah satunya, kata Litaay, karena kebanyakan kekerasan seksual adalah perempuan sebagai kelompok rentan.
“Tidak bisa dipungkiri ini pun berhasil disahkan karena pimpinan legislative adalah perempuan. Polemik pengesahan RUU TPKS ini melewati jalan berliku dan proses politik yang tidak mudah,” bebernya.
Ia menambahkan, diskriminasi gender yang kerap terjadi harus menjadi jalan bagi pemerintah untuk hadir mengatasi dan meminimalisir persoalan tersebut.
1582 Destinasi Wisata NTT
Kepala Dinas Parekraf NTT, Dr. Drs. Zet Sony Libing, M.Si dalam paparannya menyebut, NTT memiliki 1.582 destinasi wisata, diantaranya terdapat 720 wisata alam, 752 wisata budaya, 110 wisata minat khusus, dan 1 destinasi wisata super prioritas, Labuan Bajo.
Selain itu, NTT juga memiliki 86.928 pelaku ekonomi kreatif, dalam betuk kuliner kriya maupun fashion. Khusus untuk fashion dalam tenun saja, kata Dr. Soni Libing, NTT sangat kaya dengan karya intelektual ibu-ibu di NTT, yang mampu menghasilkan 726 motif tenun.
“Ini adalah karya intelektual ibu-ibu di NTT, jadi setiap daerah memiliki motif tenun yang berbeda,” urainya.
NTT, menurutnya, saat ini sedang fokus terhadap pembanguna pariwisata berbasis masyarakat, pariwisata berkualitas, dan membangun kolaborasi dengan berbagai elemen.
Isu-isu pembangunan yang dihadapi pemerintah NTT, diantaranya, meningkatkan jumlah kunjungan dan lama tinggal wisatawan, meningkatkan kualitas lingkungan hidup seperti mengatasi sampah, kerusakan terumbu karang, limbah, kebakaran, bom dan lainnya.
Untuk meningkatkan kualtias destinasi wisata, maka perlu 5 A, yakni Accessibility (akses),Accommodation (penginapan), Attraction (atraksi), Activities (kegiatan) dan Amenities (fasilitas).
“Jika 5 unsur tersebut dapat kita lakukan, maka upaya meningkatkan lawa kunjungan dan tinggal menjadi 5 – 6 hari dapat terwujud. Tujuannya produk-produk UMKM masyarakat kita bisa dibeli, juga bisa mendatangkan keuntugnan ekonomi bagi penyedia jasa transportasi darat maupun laut,” tuturnya.
Politik (Kebijakan) Pariwisata
Sementara itu, Dr. Laurensius Syairani, M.AP dalam paparannya tentang Politik (Kebijakan) Pariwisata, mengawali dengan memaparkan posisi epistemiknya bahwa pariwisata sebagai basis sumber daya/ komoditas baru tetapi dengan logika yang lama. Karena seluruh praktek pembangunan mulai dari tahun 1970-an di era environmentalisme mulai dari pembangunan berbasis migas kemudian beralih ke bidang pertanian sebagai basis unggulan. Hal itu menurutnya tidak cukup memperhitungkan oleh relasi kuasa dan kemiskinan/pemiskinan.
Tesis kedua, ia mengajukan teori mesin anti politik menurut Ferguson, sehingga menurut Dr. Syairani pariwisata sebetulnya punya potensi menghasilkan paradoks pembangunan.
“Mari kita uji dimana letaknya, pertama, soal ribuan destinasi wisata, sumber daya tadi pertama adalah milik bersama dan digunakan untuk kepentingan bersama (kepublikaan). Namun kalau itu dibaca dengan menggunakan teori Ferguson tentang mesin anti-politik. Boleh jadi, praktek pembangunan kita yang seharusnya berbasis pada kepublikan sebagai upaya mengelola public,” tandasnya.
Artinya, menurut dia, seluruh praktik pembangunan berhenti pada logika teknikal praktek pembangunan menyebabkan pembangunan termasuk pariwisata kehilangan watak politiknya.
“Jadi, pariwsata itu persoalan teknis seperti aksesibilitas, emenitas, akomodasi, atribut dan lainya, tetapi kemudian persoalan bagaimana masyarakat bisa terlibat, mengontrol dan bisa mengambil benefitt dari proses pariwisata itu yang menjadi urgen,” paparnya.
Pada kesempatan itu, Warek IV Bidang Perencanaan, Kerja Sama dan Humas, Prof. Dr. Jefri S. Bale, ST., M.Eng melakukan paraf MoU dengan Tenaga Ahli Utama Kantor Staf Kepresidenan, Theofransus Litaay, SH., LLM., Ph.D. Selanjutnya, penandatanganan MoU akan dilakukan Rektor Undana dengan Kedeputian Lima Kantor Staf Presiden pada tanggal 30 Oktober mendatang. (rfl).
FOTO-FOTO








